Kota Solo, kota ini memiliki
banyak sekali daerah, kampung, bahkan tempat-tempat yang kerap kalian kunjungi
tanpa kalian tau asal mula atau latar belakang terciptanya nama suatu tempat
tersebut. Kini saya akan mengulas sedikit bagian di daerah Solo dan
sekitarnya, bagian pertama ini saya akan memulainya mengenai asal muasal nama
kampung yang berada di Solo. Yang pertama kita
mulai dengan daerah Jebres, tentu kalian tidak asing dengan nama daerah Jebres,
tapi taukah kalian dari mana asal mula daerah tersebut bisa disebut dengan
Jebres ? Kurator Museum Radyapustaka Solo Drs. Mufti Raharjo
mengemukakan bahwa dulu ada seorang pengusaha susu yang cukup terkenal di
daerah tersebut yakni pada masa pemerintahan Paku Buwono IX, yakni bernama Yeppres,
awalnya dia membuka suatu peternakan sapi yang dimana hasil produksi dari sapi
tersebut digunakannya untuk dikonsumsi dan menjadi bahan pembuatan keju, namanya
pun semakin terkenal dikalangan warga sekitar, maka ketika terbentuknya suatu
pemukiman, daerah tersebut dikenal dengan Yeppres namun warga sekitar kerap
memanggil dengan nama Jebres. Lantas bagaimana
dengan perempatan yang berada di persilangan jalur Jl. Brigjen Katamso menuju
Mojosongo, Jl. Urip Sumoharjo menuju Pasar Gede, Jl.Mongonsidi menuju Stasiun
Balapan dan Jl. Kolonel Sutarto menuju RS Moewardi ini bisa diberi nama
perempatan Panggung ? Nama Panggung diawali dari bentuk struktur
tanahnya yang tinggi jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya, berada di
tempat itu membuat masyarakat dahulu merasa seperti berada di atas panggung,
dari tempat itu pula bisa melihat segalanya dari berbagai arah, seperti yang
dilakukan pada bangsawan Keraton yang ingin berburu atau mengintai hewan
burunan. Kampung Kandangsapi, Kelurahan Tegalharjo,
Kecamatan Jebres, asal muasal nama kampung tersebut cukup singkat, nama tersebut
dikenal karena dulunya merupakan tempat ternak sapi milik Yeppres.
Kampung Sekarpace, mungkin banyak yang beranggapan bahwa
nama tersebut berasal dari banyaknya tumbuhan atau pohon pace, namun taukah
bahwa itu ternyata tidak benar, menurut Staf Keparak dan Mandrabudaya Keraton
Surakarta Hadiningrat K.R.M.H. Notowijoyo, nama Sekarpace sebenarnya adalah
nama orang Prancis bernama Monsieur Schapentier, saat beliau ditemui oleh abdi
dhalem yang diperintahkan oleh PB X, seorang abdi dhalem tersebut tidak begitu
fasih dalam mengucapkan nama Monsieur Schapentier sehingga dia memanggil orang
Prancis itu dengan sebutan Tuan Sekarpace, mulai dari situlah banyak orang yang
memanggilnya dengan nama Tuan Sekarpace, sehingga lingkungan tersebut dikenal
dengan nama Kampung Sekarpace. Kampung Petoran,
asal mula namanya tidak jauh berbeda dengan Kampung Sekarpace, dulunya ada
warga Eropa yang sedang berkunjung di Solo bernama Meneer Victor, namun banyak
orang Jawa yang tidak bisa memanggil namanya dengan benar, lantas munculah nama
Petoran, sehingga Kampung tersebut diberi nama Kampung Petoran. Pasar
Harjodaksino dulu bernama Pasar Gemblegan, nama itu berasal dari nama seseorang
yakni Gajah Gemblegan, beliau merupakan salah satu bandar judi yang sangat
terkenal sehingga banyak orang-orang baik dari daerah tersebut atau daerah lain
yang mengenalnya, dan nama belakang dari beliau itulah yang menjadi nama pasar.
Kampung Selembaran, Serengan, Solo, kampung ini
dulunya berupa hutan dan menjadi tempat transaksi PB VI dengan Pangeran
Diponegoro, transaksi yang berupa uang tersebut diberikan dengan cara lembar
perlembar, dari situlah nama Kampung Selembar terbentuk. Nama dari
wilayah ini berasal dari bahasa Portugis yakni “baluarte” yang berarti Benteng,
nama tersebut disangkut pautkan akan permasalahan yang ada di lingkungan jero benteng, yang dimana pemukiman
penduduk tersebut letaknya bukan di dalam wilayah keraton akan tetapi berada di
luar tembok kedhaton yang masih
berada di dalam benteng, masalah letak tersebut itulah yang sempat menjadi
keresahan warga sekitar mengenai status tanah tempat tinggalnya. Kampung Kedunglumu, dulu ditemukan sebuah sumer mata air
yang bernama Tirta Amerta Kamandanu, di tempat itulah istana baru akan dibangun,
namun dalam proses pembangunan ada kendala, air tidak dapat disumbat, justru
air tersebut bertambah deras dan terus mengalir, akhirnya seorang Kiai yang
bernama Kiai Gede Sala bertapa dan memperoleh wangsit, dimasukanlah Sekar
Delima Seta dan daun lumbu kedalah sumber mata air tersebut, benar saja hal
tersebut berhasil, sebab mula dari situlah nama Kampung Kedunglumu.Kampung
yang sekarang menjadi bangunan Benteng Trade Centre Solo dulunya bernama
Kampung Bathangan, nama Bathangan ini bermula adanya seorang pemuda yang
meninggal, yang ditemukan oleh Kiai Gede Sala terdampar di sungai, sayangnya Kiai
Gede Sala tidak mengetahui siapa nama pemuda tersebut, akhirnya mayat tersebut
disebut dengan Kiai Bathang (mayat) dan dimakamkan di sebelah timur Gapura
Gladak, seiring berkembangnya daerah tersebut, kampung tepat dimakamkannya Kiai
Bathang ini dinamakan Kampung Bathangan, sebenarnya seorang pemuda itu adalah
Raden Pabelan putra Tumenggung Mayang yang dibunuh oleh orang-orang suruhan
dari Sultan Hadiwijaya, yang dimana Sultan Hadiwijaya adalah ayah dari kekasih
sang Raden yaitu Putri Sekar Kedaton atau Ratu Hemas.
Dibalik nama Pabelan, memiliki cerita yang tak jauh berbeda
dengan Kampung Bathangan, nama Desa ini bermula saat Raden Pabelan putra dari Tumenggung Mayang
menyukai Puti Sekar Kedaton atau Ratu Hemas, namun sayangnya hubungan mereka
tidak disetujui, disaat mereka sedang bersama dan kemudian tertangkap oleh
suruhan istana, Raden Pabelan sempat terluka hingga akhirnya luka itulah yang
membuatnya perlahan meninggal dunia, lantas daerah tersebut terkenal dengan
nama Desa Pabelan. Kelurahan yang bernama Gajahan
ini pasti mudah sekali untuk kalian menebak mengapa desa tersebut bernama
Gajahan, daerah itu merupakan kandang gajah yang peliharaan Keraton
pada waktu dulu. Nama Kalilarang, nama yang bermula karena kawasan
tersebut memiliki air yang jernih sehingga pihak keraton membuat beberapa
peraturan dengan tujuan agar air itu tetap jernih, peraturan tersebut ialah
dilarang untuk membuang kotoran atau sampah, akhirnya banyak warga dan
masyarakat yang menyebut kawasan itu dengan nama Kalilarang. Kelurahan Punggawan, dari namanya saja sudah bisa
ditebak mengapa nama Kelurahan tersebut bernama Punggawan, menurut tokoh masyarakat, Ny. Sugiyanto nama
Kelurahan Punggawan ini berasal dari kata penggawa atau pejabat, dan banyak
penggawa yang tinggal di daerah tersebut, maka takheran jika nama Kelurahan
tersebut diberi nama Punggawan. Taukah kalian atau pernahkah kalian mendengar Kampung Sraten? Kampung ini berada
di Kelurahan Serengan, tepatnya berada di daerah kawasan Solo. Menurut kalian
bagaimana asal muasal Kampung tersebut bisa diberinama Sraten? Saya akan
menjawab rasa penasaran anda, untuk Kampung yang satu ini memiliki latar belakang
yang berbeda dengan daerah-daerah atau kampung-kampung yang lain yang berada di
Solo, jika yang lain memberikan nama daerah tersebut dengan latar belakang nama
seorang tokoh atau peraistiwa sejarah, kampung ini menurut Kurator Museum
Radyapustaka Solo, Bapak Mufti Raharjo, beliau menjelaskan bahwa Saten ini
diambil dari para abdi dhalem Keraton
Solo yang bernama Srati, seiring berjalannya waktu tempat tersebut berkembang menjadi
pemukan yang sekarang ini dan dikenal dengan Kampung Sraten. Kelurahan yang satu ini memiliki kesamaan dalam latar
belakang mengenai penamaan nya dengan Kampung Sraten, Kelurahan Gandekan ini
berada di perbatasan Kelurahan Jagalan pada sebelah utara, Sangkrah pada bagian
selatan, Sudiroprojan sebelah barat, dan Kampung Sewu si sebelah Timur, Kampung
Gandekan ini berasal dari nama seorang abdhi dalem yang bertugas sebagai kurir
Keraton, dan tempat tinggal kurir tersebut diberi nama Kampung Gandekan.
Pasti kalian tidak asing dengan
gamelan, Kampung yang satu ini memiliki hubungan dengan gamelan pada latar
belakang sebutan nama Kampung nya, lebih tepatnya berkaitan dengan seorang abdhi dalem yang tugasnya membuat gamelan, yakni bernama Mlaya, nama
Kampung ini di ambil dari kata Mlaya dan mendapat tambahan ke-an, seiring
berjalannya waktu tempat tinggal abdi
dhalem tersebut kini menjadi pemukiman penduduk yang bernama Kampung
Kemlayan. Nama Kelurahan
yang satu ini cukup berkesan seram jika kalian mengetahui asal muasal nama dari
kampung ini, kampung ini dulu menjadi tempat penyembelihan (jagal) hewan ternak
pada masa pemerintahan PB X, penjagalan hewan ini dilakukan oleh pihak PB X
untuk menyediakan kebutuhan daging yang akan dikonsumsi oleh bangsa asing,
hingga lama-kelamaan tempat tersebut dikenal dengan sebutan Kelurahan
Janggalan. Taukah kalian dengan perangkat
gamelan kenong ? Nama kampung ini diberi nama Kampung Nonongan karena dulunya
adalah kawasan untuk pemuatan kenong. Di Kecamatan Jebres ada satu
Kelurahan yang memiliki jumlah kampung yang banyak, sehingga tak salah lagi
jika akhirnya dikenal sebagai Kampung Sewu. Pasar
kabangan, bagaimana cerita mulanya bisa dikenal dengan sebutan Kabangan ?
Menurut Pak Mufti pasar tersebut diberikan nama sesuai dengan letak nya di
daerah kabangan, sedangakn kampung kabangan itu karena daerah itu sungainya
terkena limbah batik sehingga berwarna merah(abang).
Kini
kita mulai beranjak seputar Keratonan Surakarta, kita mulai dengan Keratonnya
terlebih dahulu. Keraton Solo, dulunya tempat yang pasti dikunjungi oleh
turis domestik ini adalah rawa, kata keraton dari kata ke-ratu-an (keratuan),
sebenarnya sebutan yang benar bagi tempat tinggal raja atau ratu beserta
keluarganya ini adalah Keratunan, namun untuk memudahkan dalam menyebut
akhirnya munculah kata Keraton. Lantas bagaimana
dengan lambang Keratonan? Taukah kalian
dengan hal itu? Lambang Keratonan yang ketika kalian memasuki lingkungan
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu disebut Sri Radya Laksana, bentuk
nya lingkaran bulat telur dengan mahkota yang berada diatasnya, ada pula gambar
matahari, bulan, bintang dan bola dunia, di samping kiri dan kanan nya terdapat
gambar padi dan kapas, dari lambang-lambang tersebut sebenarnya adalah
perwakilan dari nama tiga putra dari PB I, lambang matahari ialah putra pertama yaitu G.R.M . Surya, sedangkan
lambang bulan adalah anak kedua yakni G.R.M. Candra, dan yang terakhir adalah
G.R.M. Kartika dengan lambang bintang. Gapura Gladak, nama itu berasal
karena berdekatan dengan batu persegi bernama selo gelang papan pamurakan, yang dimana tanah tersebut yang digunakan
untuk penyembelihan hewan, menurut Kalinggo tanah tempat gapura tersebut adalah
lokasi yang digunakan untuk nggladak,
asal kata gladak ini berarti menarik
hewan untuk dipotong. Ringin Kurung yang berada di
jalan utama menuju Kraton Surakarta yang tepat berada di Alun-Alun Utara ini
bisa disebut demikian karena letaknya dikelilingi dengan pagar besi yang pohon
ringin (bringin) itu dikurung oleh pagar besi. Pagelaran Sasanasumewa,
tempat itu memiliki tiang yang jumlahnya tidak sedikit, yakni ada 48 pilar,
jumlah tersebut memiliki arti bagi PB X, jumlah tersebut menunjukkan tumbuk yuswa PB X. Pendapa Magangan, dulu tempat
ini adalah tempat yang sesuai dengan namanya magangan yang dimana tempat ini digunakan untuk belajar lebih
memahami tata cara adat Keraton.
Panggung Sanggabuwana, tempat ini
memiliki latar belakang yang berkaitan dengan tahun pembuatannya, Panggung
Sanggabuwana dapat di rinci dari kata po
bermakna angka 8, agung artinya
0, sinangga
angka 8, buwana angka satu, angka
tersebut jika disusun 1808, itu berarti tempat tersebut dibuat pada tahun 1808. Supit Urang ialah nama jalan masuk yang kita lewati
ketika berkunjung ke dalam Keraton Surakarta, nama Supit Urang ini memiliki
makna yang muncul ketika melihat bentuk melengkung yang seperti udang. Jika
kalian berada di Keraton Surakarta pasti kalian pernah melihat meriam yang
ditutupi dengan kaca, taukah kalian jika meriam itu cukup dianggap kramat
karena telah berjasa dalam penjajahan, nama meriam itu sebenarnya adalah Sint
Thomb namun banyak masyarakat Jawa yang susah menyebut dengan nama itu, untuk
mempermudah dalam mengucapkan nama meriam tersebut maka orang Jawa menyebutnya
dengan nama Setomi. Benda pusaka yang satu ini erat
hubungannya dengan cerita Jaka Tarup, pastinya kalian juga sudah tau dan sudah
mengenal kisahnya, nama Dandang Kiai Duda ini memiliki latar belakang yang
tercipta karena Jaka Tarub yang ditinggal istrinya Dewi Nawangwulan karena Jaka
Tarub membuka isi dandang milik istrinya, dari situlah dandang tersebut diberi nama
Dandag Kiai Duda.Pasti sudah tidak asing lagi bagi kalian dengan
Sekaten, agar kalian lebih tau nama Sekaten ini berasal dari bahasa Jawa dan
bahasa Arab, dalam bahasa Jawa yakni kata sekati
artinya seimbang, dan dalam bahasa Arab berasal dari kata sakhatain dan sakatain
artinya menghilangkan watak hewan atau setan, jadi Sekaten ini bermakna
menghilangkan watak setan. Prajurit Jayeng Astro,
prajurit ini bertugas untuk menjaga dan mengawal keluarga raja, pemilihan
mereka ini memiliki kriteria khusus yakni harus anak tertua dari abdhi dhalem di Keraton tersebut. Jika
kalian berada di kawasan Keraton pasti selalu ada pengemis disekitar tempat
itu, nama pengemis pun memiliki asal mula yang jika kalian mengetahuinya pasti
akan merasa terheran-heran, disebutnya pengemis berasal dari kebiasaan PB X
yang selalu memberikan pemberia setiap hari Kamis, lebih tepatnya Kamis Legi,
orang-orang yang menerima pemberian PB X disebut wong kemisan untuk lebih singkat dalam memanggilnya maka munculah
seutan pengemis.
Jika kalian melewati Solo Grand Mall pasti kalian melihat bangunan
yang megah itu adalah rumah dinas Wali
Kota Solo, tempat itu dulunya bernama Loji Gandrung, nama Loji Gandrung bisa
tercipta karena tempat itu dulunya merupakan rumah dinas Gubernur Jendral yang
dimana beliau sering sekali mengadakan pertunjukan hiburan di setiap malam,
maka tak heran jika tempat itu sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar yang
ingin menyaksikan pertunjukan menari, lantas munculah sapaan-sapaan yang sering
terucap oleh masyarakat sekitar, “loji” yang
artinya rumah dan banyaknya orang yang posa
pasean atau gandrung yang artinya memadu kasih. Bagaimana
dengan yang satu ini? Pastinya kalian sering sekali mendengan Stadion Sriwedari
yang sebelum adanya Stadion Manahan tempat ini pernah menjadi tempat
penyelenggaraan pertandingan sepak bola tingkat nasional, Stadion tersebut
dibangun pada masa pemerintahan PB X yang bertujuan untuk menyediakan tempat
untuk berolahraga bari para pribumi, nama Sriwedari diberikan karena tempat
tersebut berada di kompleks Taman Sriwedari. Coba
kalian masuk ke dalam Taman Swiwedari kalian akan melihat kolam yang besar,
tempat itu sering disebut Segaran, nama itu muncul karena kerapnya masyarakat
sekitar yang sering menyebutnya dengan Segaran yang berarti banyak air hingga
menyerupai laut. Bangunan
megah yang berada di sebelah barat Stadion Sriwedari sempat menjadi gedung
Makodim Solo dan dulu menjadi markas para pejuang. TK atau taman
kanak-kanak Taman Putera Mangkunegaran dulunya adalah tempat tinggal yang
dihuni oleh seorang Patih Dalem, dimana tempat tersebut difungsikan sebagai pendapa
utama, setelah wafatnya Sang Patih maka tempat itu beralih fungsi menjadi taman
kanak-kanak. Tempat yang biasanya digunakan untuk
menikmati hidangan yang berada di sebelah Timur Museum Radyapustaka,Pujasari,
ini dulunya adalah tempat yang bisa digunakan untuk ceramah tentang budaya,atau
bisa juga sebagai tempat untuk membaca yang dinamakan Walidyasana, nama
Walidyasana ini berasal dari nama kecil Djojohadiningrat II, yakni Walidi, dan
digabungkan dengan kata asana yang
berarti tempat, maka jika kedua kata tersebut digabungkan akan menjadi
Walidiyasana. Panti yang dulu dikenal dengan nama Griya Wangkung adalah
tempat untuk menampung orang-orang yang memiliki masalah sosial, menurut
masyarakat nama itu berasal dari kata wong
terkungkung artinya orang yang terasingkan, seiring perkembangan, tempat
itu tidak hanya untuk orang yang mengalami masalah sosial namun juga untuk
tempat mereka yang membangkang terhadap pemerintahan keraton maupun bagi para
pengemis, pada tahun 1965 tempat itu juga digunakan untuk tempat para tahanan
politik, serakang bangunan itu berubah nama menjadi Panti Pamardi Wanita yang
fungsinya tidak jauh berbeda dengan yang dulu.
Masjid Al- Wustho, bangun itu
memiliki 18 saka, yang dimana melambangkan umur R.M. Said, dimana beliau pada usia
18 tahun diangkat sebagai Adipati Mangkunegara, oleh MN VII yang keturunan R.M
Said atau nama lainnya Pangeran Sambernyawa membuat saka yang berjumlah 18 untuk
mengenang perjuangan sang R.M. Said. Pendapa
Ageng Pura Mangkunegaran ini tidak bisa dipisahkan dengan tiang-tiang
penyangganya, tiang tersebut berbentuk persegi panjang yang berasal dari pohon
yang tumbuh di hutan Mangkunegaran daerah Wonogiri. Museum
yang tertua di Jawa, Museum Radya Pustaka ini dulunya adalah bangunan yang
digunakan sebagai vila untuk Belanda dan terkenal dengan nama Loji Kadipolo. Jika kalian menemui kantor Pos yang sangat megah di
Solo, yang tepatnya berada di Jalan Slamet Riyadi dulunya adalah bangunan Hotel
yang bernama Hotel Slier. Tak kalah megah dengan
bangunan kantor Pos, bangun yang sekarang ini menjadi BI Solo waktu zaman
Belanda pun sudah digunakan sebagai bank, yang bernama Javasche Bank. Kini
kita beralih ke daerah Karanganyar, candi yang cukup terkenal ini yakni Candi
Sukuh dulunya difungsikan sebagai tempat untuk mengetes keperawanan seorang
perempuan, nama Sukuh berasal dari suku kata suku yang artinya kaki, karena
tempat ini berada di kaki Gunung Lawu, maka dari itu nama Candi ini adalah
Candi Sukuh. Sekarang kita beralih ke daerah
Yogyakarta, pastinya jika kalian mendengar Pasar Kotagede dengan mudah menebak
mengapa bernama Pasar Kotagede, karena memang benar pasar ini berada di sebuah
kota yang besar. Kampung Dalem yang berada di Kotagede ini berasal dari kata dalem yang berarti rumah, dulu menupakan
tempat tinggal seorang raja di Keraton Mataran Islam I, Kampung Kauman, nama
kampung itu berasal dari bahasa Arab, qoimuddin
yang berarti penegak agama, ini bisa disimpulkan bahwa Kampung Kauman ini
sebagai penegak agama.
Kota Boyolali, kota ini berasal dari
kata boya dan lali, jika kita telusuri lebih dalam, pada saat itu Kiai Ageng
Pandanarang sedang mengadakan perjalanan bersama anak dan istrinya Nyai Ageng,
namun ketika dalam perjalanan sang Kiai meninggalkan istri dan anaknya, dan
terlontalar lah kata “Boya wis lali, Kiai teka ninggal aku”, setelah berjalan
cukup jauh, Kiai baru sadar bahwa dia meninggalnya anak dan istrinya, diucaplah
sebuah kata dari mulutnya “Boya wes lali wong iki” hingga akhirnya mereka
bertemu lagi dan lantas sang Nyai kembali mengucapkan kata-kata “Kiai boya wis
lali aku teka ninggal aku”, kono daricerita tersebut terbentuklah nama
Boyolali. Kota yang satu ini berada di lereng Gunung Merbabu yang terletak di
jalur Solo-Semarang, yaps kota Salatiga, nama kota ini berkaitan dengan sifat
Ki Ageng Pandanaran yang dimana beliau melakukan tiga kesalahan yang berkaitan
dengan sifat sombongnya, salah dan tiga, dari situlah nama kota itu berasal.
Kota Ponorogo, kota itu dulunya merupakan tempat bertapa, nama kota itu berasal
dari kata pono yang artinya selesai dan rogo yang artinya raga, karena ditempat
itulah Raden Katong berhenti bertapa dan akhirnya mendapt petunjuk. Kota Kudus
adalah kota yang sangat erat kaitannya dengan nilai keagamaan islam, jika ditelusuri
lebih dalam lagi nama kota Kudus ini pun sangat erat pula dengan keagamaan,
berasal dari bahasa arab Al-Quds yang
artinya suci. Pasar Sunggingan yang berada di Boyolali ini asal mula namanya
dari seorang Nyai Ageng Pandan Arang yang sempat berkata “yen ono rejaning
zaman, panggonan iki bakal ngrejekeni, aranono Sunggingan” dari situlah pasar
tersebut bernama Sunggingan. Bandara yang satu ini pasti tak asing ditelinga
kalian, Bandara Adi Soemarmo, sebelum bernama Adi Soemarmo tempat itu dulu
bernama Panasan, nama Panasan itu sampai sekarang belum ada penjelasan mengenai
latar belakangnya, dan nama Adi Soemarmo itu diambil dari nama seorang
pahlawan. Tempat yang berada di jalan raya Solo-Boyolali yaitu Desa Ngaru-aru,
nama Ngaru-aru ini berasal dari sikap warga yang ngar gajah,u-aruhi Sunan Kudus
dimana beliau dulu melakukan meditasi dan sering menyapa (ngaru-aruhi) Sunan
Kudus. Kecamatan Simo yang berada di Boyolali dulunya ada sebuah perkelahian
antara Sunan Kudus dan Kiai Becak, pada saat itu Sunan Kudus memukul Kiai
Becak, yang suara pukulannya itu sangat keras hingga banyak masyarakat yang
berteriak “Simo ngamuk” (harimau mengamuk), maka dari situlah landmark dan nama
kota tersebut bersimbol singa.
Gua Gong, namanya saja sudah jelas
“gong”, seperti bunyi dari suara gamelan,memang benar nama Gua Gong ini memang
berkaitan dengan itu. Desa yang satu memiliki banyak pohon mangga yang
menjadikannya alasan sebagai latar belakang nama desa Puhpuluh yang berada di
Wonogiri. Makam Ki Ageng, makam ini pada hari-hari tertentu banyak orang baik
di dalam daerah maupun di luar daerah untuk berziara, makam tersebut adalah
makam dari anak Kerajaan Majapahit dan bentuk makamnya menyerupai masjid dan
juga dianggap kramat. Nama Masjid Pantaran ini berasaldari kata sepantaran
(seumuran) yang dimana pembuatannya dulu bersamaan dengan Masjid Agung di
Demak. Waduk Gajah Mungkur berasal dari bentuknya yang seperti pantat gajah
yang membelakangi, dalam bahasa jawa membelakangi adalah mungkur.
Tradisi yang bernama dugderan ini
bermula dari bunyi bedhug “dhug” dan suara meriam “dher” dan banyak warga yang
berteriak “dhug dher” dan sorak sorai itu juga menandakan datangnya bulan
Ramadhan. Jatinom, Klaten bermula karena dulunya ada Kiai Ageng Gribig yang
terdampar karena perang saudara , beliau terdampar di bawah pohon muda, yang
dalam bahasa adalah enom, sehingga bernama Jatinom. Apem Yaqowiyu adalah sebuah
tradisi yang asal mula nama apem tersebut bermula ketika seorang Ki Ageng
Gribig membacakan do’a “yaqowiyu” yang diharapkan apem tersebut dapat membawa
berkah. Plesungan ini diberinama demikian karena dulunya setiap rumah memiliki
lesung atau alat penumbuk padi, hingga terkenalah dengan sebutan Desa
Plesungan. Bergota, Semarang, tempat yang sebenarnya bernama berg van pemberian dari Belanda ini
berubah karena warga sekitar yang susah menyebutkannya dalam bahasa Belanda,
akhirnya berubahlah menjadi Bergota. Pantai Randusanga, Brebes ini dalam
namanya berkaitan dengan Walisanga, nama randu berasal dari bekas dan sanga
yang berarti sembilan, dulu tempat itu merupkan tempat yang digunakan untuk
Walisanga berkumpul. Desa yang bermula dari sungai ini diberi nama Klampok
karena dulunya terdapat sungai besar yang bernama Klampok. Nama makanan ringan
yang satu ini berasal dari pertanyaan seorang raja kepada abdi dhalem nya “iki opo kok enak” pertanyaan itulah yang menjadikan
kue ini dinamakan Kipo dan dengan Desa Cemani yang terkenal dengan pabrik
batiknya ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti hitam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar