Sabtu, 01 April 2017

ASALE Cerita di Balik Nama Kampung dan Tempat

Kota Solo, kota ini memiliki banyak sekali daerah, kampung, bahkan tempat-tempat yang kerap kalian kunjungi tanpa kalian tau asal mula atau latar belakang terciptanya nama suatu tempat tersebut. Kini saya akan mengulas sedikit bagian di daerah Solo dan sekitarnya, bagian pertama ini saya akan memulainya mengenai asal muasal nama kampung yang berada di Solo. Yang pertama kita mulai dengan daerah Jebres, tentu kalian tidak asing dengan nama daerah Jebres, tapi taukah kalian dari mana asal mula daerah tersebut bisa disebut dengan Jebres ? Kurator Museum Radyapustaka Solo Drs. Mufti Raharjo mengemukakan bahwa dulu ada seorang pengusaha susu yang cukup terkenal di daerah tersebut yakni pada masa pemerintahan Paku Buwono IX, yakni bernama Yeppres, awalnya dia membuka suatu peternakan sapi yang dimana hasil produksi dari sapi tersebut digunakannya untuk dikonsumsi dan menjadi bahan pembuatan keju, namanya pun semakin terkenal dikalangan warga sekitar, maka ketika terbentuknya suatu pemukiman, daerah tersebut dikenal dengan Yeppres namun warga sekitar kerap memanggil dengan nama Jebres. Lantas bagaimana dengan perempatan yang berada di persilangan jalur Jl. Brigjen Katamso menuju Mojosongo, Jl. Urip Sumoharjo menuju Pasar Gede, Jl.Mongonsidi menuju Stasiun Balapan dan Jl. Kolonel Sutarto menuju RS Moewardi ini bisa diberi nama perempatan Panggung ? Nama Panggung diawali dari bentuk struktur tanahnya yang tinggi jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya, berada di tempat itu membuat masyarakat dahulu merasa seperti berada di atas panggung, dari tempat itu pula bisa melihat segalanya dari berbagai arah, seperti yang dilakukan pada bangsawan Keraton yang ingin berburu atau mengintai hewan burunan. Kampung Kandangsapi, Kelurahan Tegalharjo, Kecamatan Jebres, asal muasal nama kampung tersebut cukup singkat, nama tersebut dikenal karena dulunya merupakan tempat ternak sapi milik Yeppres.

Kampung Sekarpace, mungkin banyak yang beranggapan bahwa nama tersebut berasal dari banyaknya tumbuhan atau pohon pace, namun taukah bahwa itu ternyata tidak benar, menurut Staf Keparak dan Mandrabudaya Keraton Surakarta Hadiningrat K.R.M.H. Notowijoyo, nama Sekarpace sebenarnya adalah nama orang Prancis bernama Monsieur Schapentier, saat beliau ditemui oleh abdi dhalem yang diperintahkan oleh PB X, seorang abdi dhalem tersebut tidak begitu fasih dalam mengucapkan nama Monsieur Schapentier sehingga dia memanggil orang Prancis itu dengan sebutan Tuan Sekarpace, mulai dari situlah banyak orang yang memanggilnya dengan nama Tuan Sekarpace, sehingga lingkungan tersebut dikenal dengan nama Kampung Sekarpace. Kampung Petoran, asal mula namanya tidak jauh berbeda dengan Kampung Sekarpace, dulunya ada warga Eropa yang sedang berkunjung di Solo bernama Meneer Victor, namun banyak orang Jawa yang tidak bisa memanggil namanya dengan benar, lantas munculah nama Petoran, sehingga Kampung tersebut diberi nama Kampung Petoran. Pasar Harjodaksino dulu bernama Pasar Gemblegan, nama itu berasal dari nama seseorang yakni Gajah Gemblegan, beliau merupakan salah satu bandar judi yang sangat terkenal sehingga banyak orang-orang baik dari daerah tersebut atau daerah lain yang mengenalnya, dan nama belakang dari beliau itulah yang menjadi nama pasar. Kampung Selembaran, Serengan, Solo, kampung ini dulunya berupa hutan dan menjadi tempat transaksi PB VI dengan Pangeran Diponegoro, transaksi yang berupa uang tersebut diberikan dengan cara lembar perlembar, dari situlah nama Kampung Selembar terbentuk. Nama dari wilayah ini berasal dari bahasa Portugis yakni “baluarte” yang berarti Benteng, nama tersebut disangkut pautkan akan permasalahan yang ada di lingkungan jero benteng, yang dimana pemukiman penduduk tersebut letaknya bukan di dalam wilayah keraton akan tetapi berada di luar tembok kedhaton yang masih berada di dalam benteng, masalah letak tersebut itulah yang sempat menjadi keresahan warga sekitar mengenai status tanah tempat tinggalnya. Kampung Kedunglumu, dulu ditemukan sebuah sumer mata air yang bernama Tirta Amerta Kamandanu, di tempat itulah istana baru akan dibangun, namun dalam proses pembangunan ada kendala, air tidak dapat disumbat, justru air tersebut bertambah deras dan terus mengalir, akhirnya seorang Kiai yang bernama Kiai Gede Sala bertapa dan memperoleh wangsit, dimasukanlah Sekar Delima Seta dan daun lumbu kedalah sumber mata air tersebut, benar saja hal tersebut berhasil, sebab mula dari situlah nama Kampung Kedunglumu.Kampung yang sekarang menjadi bangunan Benteng Trade Centre Solo dulunya bernama Kampung Bathangan, nama Bathangan ini bermula adanya seorang pemuda yang meninggal, yang ditemukan oleh Kiai Gede Sala terdampar di sungai, sayangnya Kiai Gede Sala tidak mengetahui siapa nama pemuda tersebut, akhirnya mayat tersebut disebut dengan Kiai Bathang (mayat) dan dimakamkan di sebelah timur Gapura Gladak, seiring berkembangnya daerah tersebut, kampung tepat dimakamkannya Kiai Bathang ini dinamakan Kampung Bathangan, sebenarnya seorang pemuda itu adalah Raden Pabelan putra Tumenggung Mayang yang dibunuh oleh orang-orang suruhan dari Sultan Hadiwijaya, yang dimana Sultan Hadiwijaya adalah ayah dari kekasih sang Raden yaitu Putri Sekar Kedaton atau Ratu Hemas.

Dibalik nama Pabelan, memiliki cerita yang tak jauh berbeda dengan Kampung Bathangan, nama Desa ini bermula saat  Raden Pabelan putra dari Tumenggung Mayang menyukai Puti Sekar Kedaton atau Ratu Hemas, namun sayangnya hubungan mereka tidak disetujui, disaat mereka sedang bersama dan kemudian tertangkap oleh suruhan istana, Raden Pabelan sempat terluka hingga akhirnya luka itulah yang membuatnya perlahan meninggal dunia, lantas daerah tersebut terkenal dengan nama Desa Pabelan. Kelurahan yang bernama Gajahan ini pasti mudah sekali untuk kalian menebak mengapa desa tersebut bernama Gajahan, daerah itu merupakan  kandang gajah yang peliharaan Keraton pada waktu dulu. Nama Kalilarang, nama yang bermula karena kawasan tersebut memiliki air yang jernih sehingga pihak keraton membuat beberapa peraturan dengan tujuan agar air itu tetap jernih, peraturan tersebut ialah dilarang untuk membuang kotoran atau sampah, akhirnya banyak warga dan masyarakat yang menyebut kawasan itu dengan nama Kalilarang. Kelurahan Punggawan, dari namanya saja sudah bisa ditebak mengapa nama Kelurahan tersebut bernama Punggawan,  menurut tokoh masyarakat, Ny. Sugiyanto nama Kelurahan Punggawan ini berasal dari kata penggawa atau pejabat, dan banyak penggawa yang tinggal di daerah tersebut, maka takheran jika nama Kelurahan tersebut diberi nama Punggawan. Taukah kalian atau pernahkah kalian  mendengar Kampung Sraten? Kampung ini berada di Kelurahan Serengan, tepatnya berada di daerah kawasan Solo. Menurut kalian bagaimana asal muasal Kampung tersebut bisa diberinama Sraten? Saya akan menjawab rasa penasaran anda, untuk Kampung yang satu ini memiliki latar belakang yang berbeda dengan daerah-daerah atau kampung-kampung yang lain yang berada di Solo, jika yang lain memberikan nama daerah tersebut dengan latar belakang nama seorang tokoh atau peraistiwa sejarah, kampung ini menurut Kurator Museum Radyapustaka Solo, Bapak Mufti Raharjo, beliau menjelaskan bahwa Saten ini diambil dari para abdi dhalem Keraton Solo yang bernama Srati, seiring berjalannya waktu tempat tersebut berkembang menjadi pemukan yang sekarang ini dan dikenal dengan Kampung Sraten. Kelurahan yang satu ini memiliki kesamaan dalam latar belakang mengenai penamaan nya dengan Kampung Sraten, Kelurahan Gandekan ini berada di perbatasan Kelurahan Jagalan pada sebelah utara, Sangkrah pada bagian selatan, Sudiroprojan sebelah barat, dan Kampung Sewu si sebelah Timur, Kampung Gandekan ini berasal dari nama seorang abdhi dalem yang bertugas sebagai kurir Keraton, dan tempat tinggal kurir tersebut diberi nama Kampung Gandekan.


Pasti kalian tidak asing dengan gamelan, Kampung yang satu ini memiliki hubungan dengan gamelan pada latar belakang sebutan nama Kampung nya, lebih tepatnya berkaitan dengan seorang abdhi dalem yang tugasnya membuat gamelan, yakni bernama Mlaya, nama Kampung ini di ambil dari kata Mlaya dan mendapat tambahan ke-an, seiring berjalannya waktu tempat tinggal abdi dhalem tersebut kini menjadi pemukiman penduduk yang bernama Kampung Kemlayan. Nama Kelurahan yang satu ini cukup berkesan seram jika kalian mengetahui asal muasal nama dari kampung ini, kampung ini dulu menjadi tempat penyembelihan (jagal) hewan ternak pada masa pemerintahan PB X, penjagalan hewan ini dilakukan oleh pihak PB X untuk menyediakan kebutuhan daging yang akan dikonsumsi oleh bangsa asing, hingga lama-kelamaan tempat tersebut dikenal dengan sebutan Kelurahan Janggalan. Taukah kalian dengan perangkat gamelan kenong ? Nama kampung ini diberi nama Kampung Nonongan karena dulunya adalah kawasan untuk pemuatan kenong. Di Kecamatan Jebres ada satu Kelurahan yang memiliki jumlah kampung yang banyak, sehingga tak salah lagi jika akhirnya dikenal sebagai Kampung Sewu. Pasar kabangan, bagaimana cerita mulanya bisa dikenal dengan sebutan Kabangan ? Menurut Pak Mufti pasar tersebut diberikan nama sesuai dengan letak nya di daerah kabangan, sedangakn kampung kabangan itu karena daerah itu sungainya terkena limbah batik sehingga berwarna merah(abang).




Kini kita mulai beranjak seputar Keratonan Surakarta, kita mulai dengan Keratonnya terlebih dahulu. Keraton Solo, dulunya tempat yang pasti dikunjungi oleh turis domestik ini adalah rawa, kata keraton dari kata ke-ratu-an (keratuan), sebenarnya sebutan yang benar bagi tempat tinggal raja atau ratu beserta keluarganya ini adalah Keratunan, namun untuk memudahkan dalam menyebut akhirnya munculah kata Keraton. Lantas bagaimana dengan lambang Keratonan? Taukah kalian dengan hal itu? Lambang Keratonan yang ketika kalian memasuki lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu disebut Sri Radya Laksana, bentuk nya lingkaran bulat telur dengan mahkota yang berada diatasnya, ada pula gambar matahari, bulan, bintang dan bola dunia, di samping kiri dan kanan nya terdapat gambar padi dan kapas, dari lambang-lambang tersebut sebenarnya adalah perwakilan dari nama tiga putra dari PB I, lambang matahari ialah  putra pertama yaitu G.R.M . Surya, sedangkan lambang bulan adalah anak kedua yakni G.R.M. Candra, dan yang terakhir adalah G.R.M. Kartika dengan lambang bintang. Gapura Gladak, nama itu berasal karena berdekatan dengan batu persegi bernama selo gelang papan pamurakan, yang dimana tanah tersebut yang digunakan untuk penyembelihan hewan, menurut Kalinggo tanah tempat gapura tersebut adalah lokasi yang digunakan untuk nggladak, asal kata gladak ini berarti menarik hewan untuk dipotong. Ringin Kurung yang berada di jalan utama menuju Kraton Surakarta yang tepat berada di Alun-Alun Utara ini bisa disebut demikian karena letaknya dikelilingi dengan pagar besi yang pohon ringin (bringin) itu dikurung oleh pagar besi. Pagelaran Sasanasumewa, tempat itu memiliki tiang yang jumlahnya tidak sedikit, yakni ada 48 pilar, jumlah tersebut memiliki arti bagi PB X, jumlah tersebut menunjukkan tumbuk yuswa PB X. Pendapa Magangan, dulu tempat ini adalah tempat yang sesuai dengan namanya magangan yang dimana tempat ini digunakan untuk belajar lebih memahami tata cara adat Keraton.

Panggung Sanggabuwana, tempat ini memiliki latar belakang yang berkaitan dengan tahun pembuatannya, Panggung Sanggabuwana dapat di rinci dari kata po bermakna angka 8, agung artinya 0,  sinangga angka 8, buwana angka satu, angka tersebut jika disusun 1808, itu berarti tempat tersebut dibuat pada tahun 1808. Supit Urang ialah nama jalan masuk yang kita lewati ketika berkunjung ke dalam Keraton Surakarta, nama Supit Urang ini memiliki makna yang muncul ketika melihat bentuk melengkung yang seperti udang. Jika kalian berada di Keraton Surakarta pasti kalian pernah melihat meriam yang ditutupi dengan kaca, taukah kalian jika meriam itu cukup dianggap kramat karena telah berjasa dalam penjajahan, nama meriam itu sebenarnya adalah Sint Thomb namun banyak masyarakat Jawa yang susah menyebut dengan nama itu, untuk mempermudah dalam mengucapkan nama meriam tersebut maka orang Jawa menyebutnya dengan nama Setomi. Benda pusaka yang satu ini erat hubungannya dengan cerita Jaka Tarup, pastinya kalian juga sudah tau dan sudah mengenal kisahnya, nama Dandang Kiai Duda ini memiliki latar belakang yang tercipta karena Jaka Tarub yang ditinggal istrinya Dewi Nawangwulan karena Jaka Tarub membuka isi dandang milik istrinya, dari situlah dandang tersebut diberi nama Dandag Kiai Duda.Pasti sudah tidak asing lagi bagi kalian dengan Sekaten, agar kalian lebih tau nama Sekaten ini berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Arab, dalam bahasa Jawa yakni kata sekati artinya seimbang, dan dalam bahasa Arab berasal dari kata sakhatain dan sakatain artinya menghilangkan watak hewan atau setan, jadi Sekaten ini bermakna menghilangkan watak setan. Prajurit Jayeng Astro, prajurit ini bertugas untuk menjaga dan mengawal keluarga raja, pemilihan mereka ini memiliki kriteria khusus yakni harus anak tertua dari abdhi dhalem di Keraton tersebut. Jika kalian berada di kawasan Keraton pasti selalu ada pengemis disekitar tempat itu, nama pengemis pun memiliki asal mula yang jika kalian mengetahuinya pasti akan merasa terheran-heran, disebutnya pengemis berasal dari kebiasaan PB X yang selalu memberikan pemberia setiap hari Kamis, lebih tepatnya Kamis Legi, orang-orang yang menerima pemberian PB X disebut wong kemisan untuk lebih singkat dalam memanggilnya maka munculah seutan pengemis. 



Jika kalian melewati Solo Grand Mall pasti kalian melihat bangunan yang megah itu adalah  rumah dinas Wali Kota Solo, tempat itu dulunya bernama Loji Gandrung, nama Loji Gandrung bisa tercipta karena tempat itu dulunya merupakan rumah dinas Gubernur Jendral yang dimana beliau sering sekali mengadakan pertunjukan hiburan di setiap malam, maka tak heran jika tempat itu sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar yang ingin menyaksikan pertunjukan menari, lantas munculah sapaan-sapaan yang sering terucap oleh masyarakat sekitar, “loji” yang artinya rumah dan banyaknya orang yang posa pasean atau gandrung yang artinya memadu kasih. Bagaimana dengan yang satu ini? Pastinya kalian sering sekali mendengan Stadion Sriwedari yang sebelum adanya Stadion Manahan tempat ini pernah menjadi tempat penyelenggaraan pertandingan sepak bola tingkat nasional, Stadion tersebut dibangun pada masa pemerintahan PB X yang bertujuan untuk menyediakan tempat untuk berolahraga bari para pribumi, nama Sriwedari diberikan karena tempat tersebut berada di kompleks Taman Sriwedari. Coba kalian masuk ke dalam Taman Swiwedari kalian akan melihat kolam yang besar, tempat itu sering disebut Segaran, nama itu muncul karena kerapnya masyarakat sekitar yang sering menyebutnya dengan Segaran yang berarti banyak air hingga menyerupai laut. Bangunan megah yang berada di sebelah barat Stadion Sriwedari sempat menjadi gedung Makodim Solo dan dulu menjadi markas para pejuang. TK atau taman kanak-kanak Taman Putera Mangkunegaran dulunya adalah tempat tinggal yang dihuni oleh seorang Patih Dalem, dimana tempat tersebut difungsikan sebagai pendapa utama, setelah wafatnya Sang Patih maka tempat itu beralih fungsi menjadi taman kanak-kanak. Tempat yang biasanya digunakan untuk menikmati hidangan yang berada di sebelah Timur Museum Radyapustaka,Pujasari, ini dulunya adalah tempat yang bisa digunakan untuk ceramah tentang budaya,atau bisa juga sebagai tempat untuk membaca yang dinamakan Walidyasana, nama Walidyasana ini berasal dari nama kecil Djojohadiningrat II, yakni Walidi, dan digabungkan dengan kata asana yang berarti tempat, maka jika kedua kata tersebut digabungkan akan menjadi Walidiyasana. Panti yang dulu dikenal dengan nama Griya Wangkung adalah tempat untuk menampung orang-orang yang memiliki masalah sosial, menurut masyarakat nama itu berasal dari kata wong terkungkung artinya orang yang terasingkan, seiring perkembangan, tempat itu tidak hanya untuk orang yang mengalami masalah sosial namun juga untuk tempat mereka yang membangkang terhadap pemerintahan keraton maupun bagi para pengemis, pada tahun 1965 tempat itu juga digunakan untuk tempat para tahanan politik, serakang bangunan itu berubah nama menjadi Panti Pamardi Wanita yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan yang dulu.

Masjid Al- Wustho, bangun itu memiliki 18 saka, yang dimana melambangkan umur R.M. Said, dimana beliau pada usia 18 tahun diangkat sebagai Adipati Mangkunegara, oleh MN VII yang keturunan R.M Said atau nama lainnya Pangeran Sambernyawa membuat saka yang berjumlah 18 untuk mengenang perjuangan sang R.M. Said. Pendapa Ageng Pura Mangkunegaran ini tidak bisa dipisahkan dengan tiang-tiang penyangganya, tiang tersebut berbentuk persegi panjang yang berasal dari pohon yang tumbuh di hutan Mangkunegaran daerah Wonogiri. Museum yang tertua di Jawa, Museum Radya Pustaka ini dulunya adalah bangunan yang digunakan sebagai vila untuk Belanda dan terkenal dengan nama Loji Kadipolo. Jika kalian menemui kantor Pos yang sangat megah di Solo, yang tepatnya berada di Jalan Slamet Riyadi dulunya adalah bangunan Hotel yang bernama Hotel Slier. Tak kalah megah dengan bangunan kantor Pos, bangun yang sekarang ini menjadi BI Solo waktu zaman Belanda pun sudah digunakan sebagai bank, yang bernama Javasche Bank. Kini kita beralih ke daerah Karanganyar, candi yang cukup terkenal ini yakni Candi Sukuh dulunya difungsikan sebagai tempat untuk mengetes keperawanan seorang perempuan, nama Sukuh berasal dari suku kata suku yang artinya kaki, karena tempat ini berada di kaki Gunung Lawu, maka dari itu nama Candi ini adalah Candi Sukuh. Sekarang kita beralih ke daerah Yogyakarta, pastinya jika kalian mendengar Pasar Kotagede dengan mudah menebak mengapa bernama Pasar Kotagede, karena memang benar pasar ini berada di sebuah kota yang besar. Kampung Dalem yang berada di Kotagede ini berasal dari kata dalem yang berarti rumah, dulu menupakan tempat tinggal seorang raja di Keraton Mataran Islam I, Kampung Kauman, nama kampung itu berasal dari bahasa Arab, qoimuddin yang berarti penegak agama, ini bisa disimpulkan bahwa Kampung Kauman ini sebagai penegak agama.





Kota Boyolali, kota ini berasal dari kata boya dan lali, jika kita telusuri lebih dalam, pada saat itu Kiai Ageng Pandanarang sedang mengadakan perjalanan bersama anak dan istrinya Nyai Ageng, namun ketika dalam perjalanan sang Kiai meninggalkan istri dan anaknya, dan terlontalar lah kata “Boya wis lali, Kiai teka ninggal aku”, setelah berjalan cukup jauh, Kiai baru sadar bahwa dia meninggalnya anak dan istrinya, diucaplah sebuah kata dari mulutnya “Boya wes lali wong iki” hingga akhirnya mereka bertemu lagi dan lantas sang Nyai kembali mengucapkan kata-kata “Kiai boya wis lali aku teka ninggal aku”, kono daricerita tersebut terbentuklah nama Boyolali. Kota yang satu ini berada di lereng Gunung Merbabu yang terletak di jalur Solo-Semarang, yaps kota Salatiga, nama kota ini berkaitan dengan sifat Ki Ageng Pandanaran yang dimana beliau melakukan tiga kesalahan yang berkaitan dengan sifat sombongnya, salah dan tiga, dari situlah nama kota itu berasal. Kota Ponorogo, kota itu dulunya merupakan tempat bertapa, nama kota itu berasal dari kata pono yang artinya selesai dan rogo yang artinya raga, karena ditempat itulah Raden Katong berhenti bertapa dan akhirnya mendapt petunjuk. Kota Kudus adalah kota yang sangat erat kaitannya dengan nilai keagamaan islam, jika ditelusuri lebih dalam lagi nama kota Kudus ini pun sangat erat pula dengan keagamaan, berasal dari bahasa arab Al-Quds yang artinya suci. Pasar Sunggingan yang berada di Boyolali ini asal mula namanya dari seorang Nyai Ageng Pandan Arang yang sempat berkata “yen ono rejaning zaman, panggonan iki bakal ngrejekeni, aranono Sunggingan” dari situlah pasar tersebut bernama Sunggingan. Bandara yang satu ini pasti tak asing ditelinga kalian, Bandara Adi Soemarmo, sebelum bernama Adi Soemarmo tempat itu dulu bernama Panasan, nama Panasan itu sampai sekarang belum ada penjelasan mengenai latar belakangnya, dan nama Adi Soemarmo itu diambil dari nama seorang pahlawan. Tempat yang berada di jalan raya Solo-Boyolali yaitu Desa Ngaru-aru, nama Ngaru-aru ini berasal dari sikap warga yang ngar gajah,u-aruhi Sunan Kudus dimana beliau dulu melakukan meditasi dan sering menyapa (ngaru-aruhi) Sunan Kudus. Kecamatan Simo yang berada di Boyolali dulunya ada sebuah perkelahian antara Sunan Kudus dan Kiai Becak, pada saat itu Sunan Kudus memukul Kiai Becak, yang suara pukulannya itu sangat keras hingga banyak masyarakat yang berteriak “Simo ngamuk” (harimau mengamuk), maka dari situlah landmark dan nama kota tersebut bersimbol singa.

Gua Gong, namanya saja sudah jelas “gong”, seperti bunyi dari suara gamelan,memang benar nama Gua Gong ini memang berkaitan dengan itu. Desa yang satu memiliki banyak pohon mangga yang menjadikannya alasan sebagai latar belakang nama desa Puhpuluh yang berada di Wonogiri. Makam Ki Ageng, makam ini pada hari-hari tertentu banyak orang baik di dalam daerah maupun di luar daerah untuk berziara, makam tersebut adalah makam dari anak Kerajaan Majapahit dan bentuk makamnya menyerupai masjid dan juga dianggap kramat. Nama Masjid Pantaran ini berasaldari kata sepantaran (seumuran) yang dimana pembuatannya dulu bersamaan dengan Masjid Agung di Demak. Waduk Gajah Mungkur berasal dari bentuknya yang seperti pantat gajah yang membelakangi, dalam bahasa jawa membelakangi adalah mungkur.

Tradisi yang bernama dugderan ini bermula dari bunyi bedhug “dhug” dan suara meriam “dher” dan banyak warga yang berteriak “dhug dher” dan sorak sorai itu juga menandakan datangnya bulan Ramadhan. Jatinom, Klaten bermula karena dulunya ada Kiai Ageng Gribig yang terdampar karena perang saudara , beliau terdampar di bawah pohon muda, yang dalam bahasa adalah enom, sehingga bernama Jatinom. Apem Yaqowiyu adalah sebuah tradisi yang asal mula nama apem tersebut bermula ketika seorang Ki Ageng Gribig membacakan do’a “yaqowiyu” yang diharapkan apem tersebut dapat membawa berkah. Plesungan ini diberinama demikian karena dulunya setiap rumah memiliki lesung atau alat penumbuk padi, hingga terkenalah dengan sebutan Desa Plesungan. Bergota, Semarang, tempat yang sebenarnya bernama berg van pemberian dari Belanda ini berubah karena warga sekitar yang susah menyebutkannya dalam bahasa Belanda, akhirnya berubahlah menjadi Bergota. Pantai Randusanga, Brebes ini dalam namanya berkaitan dengan Walisanga, nama randu berasal dari bekas dan sanga yang berarti sembilan, dulu tempat itu merupkan tempat yang digunakan untuk Walisanga berkumpul. Desa yang bermula dari sungai ini diberi nama Klampok karena dulunya terdapat sungai besar yang bernama Klampok. Nama makanan ringan yang satu ini berasal dari pertanyaan seorang raja kepada abdi dhalem nya “iki opo kok enak” pertanyaan itulah yang menjadikan kue ini dinamakan Kipo dan dengan Desa Cemani yang terkenal dengan pabrik batiknya ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti hitam 

Sabtu, 18 Maret 2017

Bagian 4 : Mitos dan Asal-Usul Nama Kota

Percayakah kalian jika nama sebuah kota tak lepas dari mitos, kini kita beranjak di bagian ke empat yang membahas mengenai mitos dan asal-usul nama kota. Pembahasan pertama kita mengenai kota Boyolali, kota ini berasal dari kata boya dan lali, jika kita telusuri lebih dalam, pada saat itu Kiai Ageng Pandanarang sedang mengadakan perjalanan bersama anak dan istrinya Nyai Ageng, namun ketika dalam perjalanan sang Kiai meninggalkan istri dan anaknya, dan terlontalar lah kata “Boya wis lali, Kiai teka ninggal aku”, setelah berjalan cukup jauh, Kiai baru sadar bahwa dia meninggalnya anak dan istrinya, diucaplah sebuah kata dari mulutnya “Boya wes lali wong iki” hingga akhirnya mereka bertemu lagi dan lantas sang Nyai kembali mengucapkan kata-kata “Kiai boya wis lali aku teka ninggal aku”, kono daricerita tersebut terbentuklah nama Boyolali. Kota yang satu ini berada di lereng Gunung Merbabu yang terletak di jalur Solo-Semarang, yaps kota Salatiga, nama kota ini berkaitan dengan sifat Ki Ageng Pandanaran yang dimana beliau melakukan tiga kesalahan yang berkaitan dengan sifat sombongnya, salah dan tiga, dari situlah nama kota itu berasal. Kota Ponorogo, kota itu dulunya merupakan tempat bertapa, nama kota itu berasal dari kata pono yang artinya selesai dan rogo yang artinya raga, karena ditempat itulah Raden Katong berhenti bertapa dan akhirnya mendapt petunjuk. Kota Kudus adalah kota yang sangat erat kaitannya dengan nilai keagamaan islam, jika ditelusuri lebih dalam lagi nama kota Kudus ini pun sangat erat pula dengan keagamaan, berasal dari bahasa arab Al-Quds yang artinya suci. Pasar Sunggingan yang berada di Boyolali ini asal mula namanya dari seorang Nyai Ageng Pandan Arang yang sempat berkata “yen ono rejaning zaman, panggonan iki bakal ngrejekeni, aranono Sunggingan” dari situlah pasar tersebut bernama Sunggingan. Bandara yang satu ini pasti tak asing ditelinga kalian, Bandara Adi Soemarmo, sebelum bernama Adi Soemarmo tempat itu dulu bernama Panasan, nama Panasan itu sampai sekarang belum ada penjelasan mengenai latar belakangnya, dan nama Adi Soemarmo itu diambil dari nama seorang pahlawan. Tempat yang berada di jalan raya Solo-Boyolali yaitu Desa Ngaru-aru, nama Ngaru-aru ini berasal dari sikap warga yang ngar gajah,u-aruhi Sunan Kudus dimana beliau dulu melakukan meditasi dan sering menyapa (ngaru-aruhi) Sunan Kudus.

Kecamatan Simo yang berada di Boyolali dulunya ada sebuah perkelahian antara Sunan Kudus dan Kiai Becak, pada saat itu Sunan Kudus memukul Kiai Becak, yang suara pukulannya itu sangat keras hingga banyak masyarakat yang berteriak “Simo ngamuk” (harimau mengamuk), maka dari situlah landmark dan nama kota tersebut bersimbol singa. Gua Gong, namanya saja sudah jelas “gong”, seperti bunyi dari suara gamelan,memang benar nama Gua Gong ini memang berkaitan dengan itu. Desa yang satu memiliki banyak pohon mangga yang menjadikannya alasan sebagai latar belakang nama desa Puhpuluh yang berada di Wonogiri. Makam Ki Ageng, makam ini pada hari-hari tertentu banyak orang baik di dalam daerah maupun di luar daerah untuk berziara, makam tersebut adalah makam dari anak Kerajaan Majapahit dan bentuk makamnya menyerupai masjid dan juga dianggap kramat. Nama Masjid Pantaran ini berasaldari kata sepantaran (seumuran) yang dimana pembuatannya dulu bersamaan dengan Masjid Agung di Demak. Waduk Gajah Mungkur berasal dari bentuknya yang seperti pantat gajah yang membelakangi, dalam bahasa jawa membelakangi adalah mungkur. Tradisi yang bernama dugderan ini bermula dari bunyi bedhug “dhug” dan suara meriam “dher” dan banyak warga yang berteriak “dhug dher” dan sorak sorai itu juga menandakan datangnya bulan Ramadhan.


Jatinom, Klaten bermula karena dulunya ada Kiai Ageng Gribig yang terdampar karena perang saudara , beliau terdampar di bawah pohon muda, yang dalam bahasa adalah enom, sehingga bernama Jatinom. Apem Yaqowiyu adalah sebuah tradisi yang asal mula nama apem tersebut bermula ketika seorang Ki Ageng Gribig membacakan do’a “yaqowiyu” yang diharapkan apem tersebut dapat membawa berkah. Plesungan ini diberinama demikian karena dulunya setiap rumah memiliki lesung atau alat penumbuk padi, hingga terkenalah dengan sebutan Desa Plesungan. Bergota, Semarang, tempat yang sebenarnya bernama berg van pemberian dari Belanda ini berubah karena warga sekitar yang susah menyebutkannya dalam bahasa Belanda, akhirnya berubahlah menjadi Bergota. Pantai Randusanga, Brebes ini dalam namanya berkaitan dengan Walisanga, nama randu berasal dari bekas dan sanga yang berarti sembilan, dulu tempat itu merupkan tempat yang digunakan untuk Walisanga berkumpul. Desa yang bermula dari sungai ini diberi nama Klampok karena dulunya terdapat sungai besar yang bernama Klampok. Nama makanan ringan yang satu ini berasal dari pertanyaan seorang raja kepada abdi dhalem nya “iki opo kok enak” pertanyaan itulah yang menjadikan kue ini dinamakan Kipo dan dengan Desa Cemani yang terkenal dengan pabrik batiknya ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti hitam.


Sumber : Buku ASALE Cerita di Balik Nama Kampung dan Tempat terbitan PT. Solopos 

Kamis, 16 Maret 2017

Bagian 3 : Peninggalan Bersejarah

Jangan bosan untuk membaca ya semua, apalagi membaca itu memberikan kita pengetahuan yang lebih luas dan menjadi tahu sesuatu yang kita tidak tau. Saya akan menyampaikan bagian ketiga yang membahas mengenai nama dibalik peninggalan sejarah. Jika kalian melewati Solo Grand Mall pasti kalian melihat bangunan yang megah itu adalah  rumah dinas Wali Kota Solo, tempat itu dulunya bernama Loji Gandrung, nama Loji Gandrung bisa tercipta karena tempat itu dulunya merupakan rumah dinas Gubernur Jendral yang dimana beliau sering sekali mengadakan pertunjukan hiburan di setiap malam, maka tak heran jika tempat itu sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar yang ingin menyaksikan pertunjukan menari, lantas munculah sapaan-sapaan yang sering terucap oleh masyarakat sekitar, “loji” yang artinya rumah dan banyaknya orang yang posa pasean atau gandrung yang artinya memadu kasih. Bagaimana dengan yang satu ini? Pastinya kalian sering sekali mendengan Stadion Sriwedari yang sebelum adanya Stadion Manahan tempat ini pernah menjadi tempat penyelenggaraan pertandingan sepak bola tingkat nasional, Stadion tersebut dibangun pada masa pemerintahan PB X yang bertujuan untuk menyediakan tempat untuk berolahraga bari para pribumi, nama Sriwedari diberikan karena tempat tersebut berada di kompleks Taman Sriwedari. Coba kalian masuk ke dalam Taman Swiwedari kalian akan melihat kolam yang besar, tempat itu sering disebut Segaran, nama itu muncul karena kerapnya masyarakat sekitar yang sering menyebutnya dengan Segaran yang berarti banyak air hingga menyerupai laut. Bangunan megah yang berada di sebelah barat Stadion Sriwedari sempat menjadi gedung Makodim Solo dan dulu menjadi markas para pejuang.


TK atau taman kanak-kanak Taman Putera Mangkunegaran dulunya adalah tempat tinggal yang dihuni oleh seorang Patih Dalem, dimana tempat tersebut difungsikan sebagai pendapa utama, setelah wafatnya Sang Patih maka tempat itu beralih fungsi menjadi taman kanak-kanak. Tempat yang biasanya digunakan untuk menikmati hidangan yang berada di sebelah Timur Museum Radyapustaka,Pujasari, ini dulunya adalah tempat yang bisa digunakan untuk ceramah tentang budaya,atau bisa juga sebagai tempat untuk membaca yang dinamakan Walidyasana, nama Walidyasana ini berasal dari nama kecil Djojohadiningrat II, yakni Walidi, dan digabungkan dengan kata asana yang berarti tempat, maka jika kedua kata tersebut digabungkan akan menjadi Walidiyasana. Panti yang dulu dikenal dengan nama Griya Wangkung adalah tempat untuk menampung orang-orang yang memiliki masalah sosial, menurut masyarakat nama itu berasal dari kata wong terkungkung artinya orang yang terasingkan, seiring perkembangan, tempat itu tidak hanya untuk orang yang mengalami masalah sosial namun juga untuk tempat mereka yang membangkang terhadap pemerintahan keraton maupun bagi para pengemis, pada tahun 1965 tempat itu juga digunakan untuk tempat para tahanan politik, serakang bangunan itu berubah nama menjadi Panti Pamardi Wanita yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan yang dulu. Masjid Al- Wustho, bangun itu memiliki 18 saka, yang dimana melambangkan umur R.M. Said, dimana beliau pada usia 18 tahun diangkat sebagai Adipati Mangkunegara, oleh MN VII yang keturunan R.M Said atau nama lainnya Pangeran Sambernyawa membuat saka yang berjumlah 18 untuk mengenang perjuangan sang R.M. Said. Pendapa Ageng Pura Mangkunegaran ini tidak bisa dipisahkan dengan tiang-tiang penyangganya, tiang tersebut berbentuk persegi panjang yang berasal dari pohon yang tumbuh di hutan Mangkunegaran daerah Wonogiri. Museum yang tertua di Jawa, Museum Radya Pustaka ini dulunya adalah bangunan yang digunakan sebagai vila untuk Belanda dan terkenal dengan nama Loji Kadipolo. Jika kalian menemui kantor Pos yang sangat megah di Solo, yang tepatnya berada di Jalan Slamet Riyadi dulunya adalah bangunan Hotel yang bernama Hotel Slier.



Tak kalah megah dengan bangunan kantor Pos, bangun yang sekarang ini menjadi BI Solo waktu zaman Belanda pun sudah digunakan sebagai bank, yang bernama Javasche Bank. Kini kita beralih ke daerah Karanganyar, candi yang cukup terkenal ini yakni Candi Sukuh dulunya difungsikan sebagai tempat untuk mengetes keperawanan seorang perempuan, nama Sukuh berasal dari suku kata suku yang artinya kaki, karena tempat ini berada di kaki Gunung Lawu, maka dari itu nama Candi ini adalah Candi Sukuh. Sekarang kita beralih ke daerah Yogyakarta, pastinya jika kalian mendengar Pasar Kotagede dengan mudah menebak mengapa bernama Pasar Kotagede, karena memang benar pasar ini berada di sebuah kota yang besar. Kampung Dalem yang berada di Kotagede ini berasal dari kata dalem yang berarti rumah, dulu menupakan tempat tinggal seorang raja di Keraton Mataran Islam I. Kampung Kauman, nama kampung itu berasal dari bahasa Arab, qoimuddin yang berarti penegak agama, ini bisa disimpulkan bahwa Kampung Kauman ini sebagai penegak agama.




Sumber : ASALE Cerita di Balik Nama Kampung dan Tempat penerbit PT. Aksara Solopos
Follow juga ig : rzkptrp
Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam ejakan maupun penulisan, semoga bermanfaat :)

BAGIAN 2 : SEPUTAR KERATON SURAKARTA


BAGIAN 2 : SEPUTAR KERATON SURAKARTA

Keraton Solo, taukah kalian dulu Keraton Solo adalah rawa-rawa, tempat itu memiliki kapasitas air yang jauh lebih tinggi dari pada tanahnya, untuk menutup daerah air tersebut, pihak PB II menggunakan tanah urugan untuk menutupi bagian rawa-rawa tersebut. Bagaimana dengan asal mula nama Keraton ? Kata keraton dari kata ke-ratu-an (keratuan), sebenarnya sebutan yang benar bagi tempat tinggal raja atau ratu beserta keluarganya ini adalah Keratunan, namun untuk memudahkan dalam menyebut akhirnya munculah kata Keraton. Lantas bagaimana dengan lambang Keratonan? Taukah kalian dengan hal itu? Lambang Keratonan yang ketika kalian memasuki lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu disebut Sri Radya Laksana, bentuk nya lingkaran bulat telur dengan mahkota yang berada diatasnya, ada pula gambar matahari, bulan, bintang dan bola dunia, di samping kiri dan kanan nya terdapat gambar padi dan kapas, dari lambang-lambang tersebut sebenarnya adalah perwakilan dari nama tiga putra dari PB I, lambang matahari ialah  putra pertama yaitu G.R.M . Surya, sedangkan lambang bulan adalah anak kedua yakni G.R.M. Candra, dan yang terakhir adalah G.R.M. Kartika dengan lambang bintang. Gapura Gladak, nama itu berasal karena berdekatan dengan batu persegi bernama selo gelang papan pamurakan, yang dimana tanah tersebut yang digunakan untuk penyembelihan hewan, menurut Kalinggo tanah tempat gapura tersebut adalah lokasi yang digunakan untuk nggladak, asal kata gladak ini berarti menarik hewan untuk dipotong.


Ringin Kurung yang berada di jalan utama menuju Kraton Surakarta yang tepat berada di Alun-Alun Utara ini bisa disebut demikian karena letaknya dikelilingi dengan pagar besi yang pohon ringin (bringin) itu dikurung oleh pagar besi. Pagelaran Sasanasumewa, tempat itu memiliki tiang yang jumlahnya tidak sedikit, yakni ada 48 pilar, jumlah tersebut memiliki arti bagi PB X, jumlah tersebut menunjukkan tumbuk yuswa PB X. Pendapa Magangan, dulu tempat ini adalah tempat yang sesuai dengan namanya magangan yang dimana tempat ini digunakan untuk belajar lebih memahami tata cara adat Keraton. Panggung Sanggabuwana, tempat ini memiliki latar belakang yang berkaitan dengan tahun pembuatannya, Panggung Sanggabuwana dapat di rinci dari kata po bermakna angka 8, agung artinya 0,  sinangga angka 8, buwana angka satu, angka tersebut jika disusun 1808, itu berarti tempat tersebut dibuat pada tahun 1808. Supit Urang ialah nama jalan masuk yang kita lewati ketika berkunjung ke dalam Keraton Surakarta, nama Supit Urang ini memiliki makna yang muncul ketika melihat bentuk melengkung yang seperti udang. Jika kalian berada di Keraton Surakarta pasti kalian pernah melihat meriam yang ditutupi dengan kaca, taukah kalian jika meriam itu cukup dianggap kramat karena telah berjasa dalam penjajahan, nama meriam itu sebenarnya adalah Sint Thomb namun banyak masyarakat Jawa yang susah menyebut dengan nama itu, untuk mempermudah dalam mengucapkan nama meriam tersebut maka orang Jawa menyebutnya dengan nama Setomi. Benda pusaka yang satu ini erat hubungannya dengan cerita Jaka Tarup, pastinya kalian juga sudah tau dan sudah mengenal kisahnya, nama Dandang Kiai Duda ini memiliki latar belakang yang tercipta karena Jaka Tarub yang ditinggal istrinya Dewi Nawangwulan karena Jaka Tarub membuka isi dandang milik istrinya, dari situlah dandang tersebut diberi nama Dandag Kiai Duda.



Pasti sudah tidak asing lagi bagi kalian dengan Sekaten, agar kalian lebih tau nama Sekaten ini berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Arab, dalam bahasa Jawa yakni kata sekati artinya seimbang, dan dalam bahasa Arab berasal dari kata sakhatain dan sakatain artinya menghilangkan watak hewan atau setan, jadi Sekaten ini bermakna menghilangkan watak setan. Prajurit Jayeng Astro, prajurit ini bertugas untuk menjaga dan mengawal keluarga raja, pemilihan mereka ini memiliki kriteria khusus yakni harus anak tertua dari abdhi dhalem di Keraton tersebut. Jika kalian berada di kawasan Keraton pasti selalu ada pengemis disekitar tempat itu, nama pengemis pun memiliki asal mula yang jika kalian mengetahuinya pasti akan merasa terheran-heran, disebutnya pengemis itu berasal dari kebiasaan PB X yang selalu memberikan pemberia setiap hari Kamis, lebih tepatnya Kamis Legi, orang-orang yang menerima pemberian PB X disebut wong kemisan untuk lebih singkat dalam memanggilnya maka munculah seutan pengemis. Karena tempat ini dipercaya sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi orang orang yang terpuji, maka tempat makam ini disebut dengan Makam Haji. Desa Purbayan, Baki, Sidoharjo, desa tersebut diberi nama Purbayan karena dulunya merupakan tempat tinggal Pangeran Purbayan yang dimana beliau diangkat sebagai Pangeran Adipati Purbaya.






Sumber : ASALE Cerita di Balik Nama Kampung dan Tempat penerbit PT. Aksara Solopos
Follow juga ig : rzkptrp
Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam ejakan maupun penulisan, semoga bermanfaat :)

Rabu, 15 Maret 2017

BAGIAN 1 : ASALE NAMA KAMPUNG DI SOLO



BAGIAN 1 : ASALE NAMA KAMPUNG DI SOLO



Pada bagian ini saya akan membahas mengenai asal nama kampung yang berada di Solo. Tentu kalian tidak asing dengan daerah Jebres, tapi taukah kalian dari mana asal mula daerah tersebut bisa disebut dengan Jebres? Kurator Museum Radyapustaka Solo Drs. Mufti Raharjo mengemukakan bahwa dulu ada seorang pengusaha susu yang cukup terkenal di daerah tersebut yakni pada masa pemerintahan Paku Buwono IX, Yeppres awalnya membuka suatu peternakan sapi yang dimana hasil produksi dari sapi tersebut digunakannya untuk dikonsumsi dan menjadi bahan pembuatan keju, namanya pun semakin terkenal dikalangan warga sekitar, maka ketika terbentuknya suatu pemukiman, daerah tersebut dikenal dengan Yeppres namun warga sekitar kerap memanggil dengan nama Jebres. Lantas bagaimana dengan perempatan Panggung? Perempatan Panggung ini berada di persilangan jalur Jl. Brigjen Katamso menuju Mojosongo, Jl. Urip Sumoharjo menuju Pasar Gede, Jl.Mongonsidi menuju Stasiun Balapan dan Jl. Kolonel Sutarto menuju RS Moewardi. Nama Panggung diawali dari bentuk struktur tanahnya yang tinggi jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya, yang jika berada di daerah tersebut maka banyak yang beranggapan merasa seperti di atas panggung, karena jika kita berada disana, kita bisa melihat dari berbagai arah, seperti yang dilakukan pada bangsawan Keraton yang ingin berburu atau mengintai hewan burunan. Kampung Kandangsapi, Kelurahan Tegalharjo, Kecamatan Jebres, nama tersebut dikenal karena dulunya adalah tempat ternak sapi Yeppres.


Kampung Sekarpace, mungkin banyak yang beranggapan bahwa nama tersebut berasal dari banyaknya tumbuhan atau pohon pace, namun taukah bahwa itu ternyata tidak benar, menurut Staf Keparak dan Mandrabudaya Keraton Surakarta Hadiningrat K.R.M.H. Notowijoyo, nama Sekarpace sebenarnya adalah nama orang Prancis yang berada di lingkungan tersebut yakni bernama Monsieur Schapentier, disaat itu beliau sedang ditemui oleh abdi dhalem yang diperintahkan oleh PB X, namun ternyata seorang abdi dhalem tersebut tidak begitu fasih dalam mengucapkan nama Monsieur Schapentier sehingga munculah kata Tuan Sekarpace, mulai dari situlah banyak orang yang memanggilnya dengan nama Tuan Sekarpace, sehingga lingkungan tersebut dikenal dengan nama Kampung Sekarpace. Kampung Petoran, asal mula namanya tidak jauh berbeda dengan Kampung Sekarpace, ada warga Eropa yang berkunjung di Solo bernama Meneer Victor, namun banyak orang Jawa yang tidak bisa memanggilnya dengan nama yang sebenarnya, sehingga munculah Petoran, sehingga Kampung tersebut diberi nama Kampung Petoran. Pasar Harjodaksino dulu bernama Pasar Gemblegan, nama itu berasal dari nama seseorang yaitu Gajah Gemblegan, dimana beliau merupakan salah satu bandar judi yang sangat terkenal sehingga banyak orang-orang dari daerah tersebut atau daerah lain yang mengenalnya, dan saat ini, Gemblegan telah berkembang pesat. Kampung Selembaran, Serengan, Solo, kampung ini sebenarnya adalah hutan, yang dimana hutan ini menjadi tempat transaksi antara PB VI kepada Pangeran Diponegoro, uang tersebut diberikannya dengan cara lembar perlembar, dari situlah nama Kampung Selembar terbentuk. Wilayah Baluwarti, kata Baluwarti berasal dari bahasa Portugis yakni “baluarte” yang berarti Benteng, nama tersebut dapat disangkut pautkan kepada kejadian saat itu, yakni permasalahan di lingkungan jero benteng, yang dimana pemukiman penduduk tersebut letaknya bukan di dalam wilayah keraton akan tetapi berada di luar tembok kedhaton yang masih berada di dalam benteng, masalah letak tersebut itulah yang sempat menjadi keresahan warga sekitar mengenai status tanah tempat tinggalnya. Kampung yang terkenal dengan genangan airnya, yaitu kampung Kedunglumu, kampung ini dulunya adalah tempat yang sebagian besar daerahnya berupa rawa-rawa, pada tahun 1745, PB II berniatan untuk memindahkan istana yang dulu berada di pusat pemerintahan Keraton Surakarta ke Desa Sala, alasan beliau memindahkan istananya tersebut karena kondisi istana yang sudah tidak layak untuk ditempati, disebabkan oleh peristiwa pemberontakan warga keturunan Tionghoa terhadap Belanda pada tahun 1740. PB II mengutus tiga utusannya dan kemudian mereka menemukan sebuah sumer mata air yang bernama Tirta Amerta Kamandanu, lantas tempat itu dirasa cocok untuk mendirikan istana yang baru, namun dalam proses pembangunan istana tersebut ada kendala yang dimana air tersebut tidak dapat disumbat, justru air tersebut bertambah deras dan terus mengalir, akhirnya seorang Kiai yang bernama Kiai Gede Sala bertapa dan memperoleh wangsit, dimasukanlah Sekar Delima Seta dan daun lumbu kedalah sumber mata air tersebut, dan berhasil, sebab mula dari situlah nama Kampung Kedunglumu terbuat. Kampung yang sekarang menjadi bangunan Benteng Trade Centre Solo dulunya bernama Kampung Bathangan, nama Bathangan ini diberikan karena dulu ada seorang pemuda yang meninggal, yang ditemukan oleh Kiai Gede Sala terdampar di sungai, sayangnya Kiai Gede Sala tidak mengetahui siapa nama pemuda tersebut, akhirnya mayat itu disebut dengan Kiai Bathang (mayat) dan dimakamkan di sebelah timur Gapura Gladak, seiring berkembangnya daerah tersebut, kampung tempat dimakamkannya Kiai Bathang ini dinamakan Kampung Bathangan, sebenarnya seorang pemuda itu adalah Raden Pabelan putra Tumenggung Mayang yang dibunuh oleh orang-orang suruhan dari Sultan Hadiwijaya, yang dimana Sultan Hadiwijaya adalah ayah dari kekasih sang Raden yaitu Putri Sekar Kedaton atau Ratu Hemas, hubungan mereka tidak disetujui oleh  orang tua mereka. 

Dibalik nama Pabelan, memiliki cerita yang tak jauh berbeda dengan Kampung Bathangan, nama Desa ini bermula pada suatu ketika seorang Raden yang bernama Pabelan putra dari Tumenggung Mayang menyukai Puti Sekar Kedaton atau Ratu Hemas namun hubungan mereka tidak disetujui, saat mereka sedang bersama kemudian tertangkaplah mereka dan Raden Pabelan pun akhirnya meninggal karena luka yang cukup parah karena terkena sabit, akhirnya daerah tersebut dikenal dengan nama Desa Pabelan. Kelurahan yang bernama Gajahan ini pasti mudah sekali untuk kalian tebak mengapa nama desa tersebut adalah Gajahan. Daerah itu adalah kandang gajah, seiring berjalannya waktu gajah yang dulu merupakan peliharaan Keraton itu satu persatu akhirnya mati, dan daerah yang dijadikan kandang itupun kini sekarang berubah menjadi pemukiman warga yang diberinama Kampung Gajahan.Taukah kalian dibalik nama Kawasan Kalilarang, nama Kalilarang ini bermula karena wilayah itu merupakan sebuah kali, jernihnya air itu membuat pihak Keraton membuat beberapa peraturan dengan tujuan agar air itu tetap jernih, peraturan tersebut ialah dilarang untuk membuang kotoran atau sampah, akhirnya banyak warga dan masyarakat yang menyebut kawasan itu dengan nama Kalilarang. Kelurahan Punggawan, dari namanya saja sudah bisa ditebak mengapa nama Kelurahan tersebut bernama Punggawan,  menurut tokoh masyarakat, Ny. Sugiyanto nama Kelurahan Punggawan ini berasal dari kata penggawa atau pejabat, dan banyak penggawa yang tinggal di daerah tersebut, maka takheran jika nama Kelurahan tersebut diberi nama Punggawan. Taukah kalian atau pernahkah kalian  mendengar Kampung Sraten? Kampung ini berada di Kelurahan Serengan, tepatnya berada di daerah kawasan Solo. Menurut kalian bagaimana asal muasal Kampung tersebut bisa diberinama Sraten? Saya akan menjawab rasa penasaran anda, untuk Kampung yang satu ini memiliki latar belakang yang berbeda dengan daerah-daerah atau kampung-kampung yang lain yang berada di Solo, jika yang lain memberikan nama daerah tersebut dengan latar belakang nama seorang tokoh atau peristiwa sejarah, kampung ini menurut Kurator Museum Radyapustaka Solo, Bapak Mufti Raharjo, beliau menjelaskan bahwa Saten ini diambil dari para abdi dhalem Keraton Solo yang bernama Srati, seiring berjalannya waktu tempat tersebut berkembang menjadi pemukiman yang sekarang ini dan dikenal dengan Kampung Sraten. Kelurahan yang satu ini memiliki kesamaan dalam latar belakang mengenai penamaan nya dengan Kampung Sraten, Kelurahan Gandekan ini berada di perbatasan Kelurahan Jagalan pada sebelah utara, Sangkrah pada bagian selatan, Sudiroprojan sebelah barat, dan Kampung Sewu si sebelah Timur, Kampung Gandekan ini berasal dari nama seorang abdhi dalem yang bertugas sebagai kurir Keraton, dan tempat tinggal kurir tersebut diberi nama Kampung Gandekan. Pasti kalian tidak asing dengan gamelan, Kampung yang satu ini memiliki hubungan dengan gamelan pada latar belakang sebutan nama Kampung nya, lebih tepatnya berkaitan dengan seorang abdhi dalem yang tugasnya membuat gamelan, yakni bernama Mlaya, nama Kampung ini di ambil dari kata Mlaya dan mendapat tambahan ke-an, seiring berjalannya waktu tempat tinggal abdi dhalem tersebut kini menjadi pemukiman penduduk yang bernama Kampung Kemlayan.


Nama Kelurahan yang satu ini cukup berkesan seram jika kalian mengetahui asal muasal nama dari kampung ini, kampung ini dulu menjadi tempat penyembelihan (jagal) hewan ternak pada masa pemerintahan PB X, penjagalan hewan ini dilakukan oleh pihak PB X untuk menyediakan kebutuhan daging yang akan dikonsumsi oleh bangsa asing, hingga lama-kelamaan tempat tersebut dikenal dengan sebutan Kelurahan Janggalan. Taukah kalian dengan perangkat gamelan kenong? Nama kampung ini diberi nama Kampung Nonongan karena dulunya adalah kawasan untuk pemuatan kenong. Di Kecamatan Jebres ada satu Kelurahan yang memiliki jumlah kampung yang banyak, sehingga tak salah lagi jika akhirnya dikenal sebagai Kampung Sewu. Pasar kabangan, bagaimana cerita mulanya bisa dikenal dengan sebutan Kabangan ? Menurut Pak Mufti pasar tersebut diberikan nama sesuai dengan letak nya di daerah kabangan, sedangakn kampung kabangan itu karena daerah itu sungainya terkena limbah batik sehingga berwarna merah(abang). KelurahanSondakan merupakan nama dari Rekso Handaka namun banyak orang yang memanggilnya dengan nama Sondakan, dari situlah asal mula nama Kampung tersebut. Terakhir dari bagian ini adalah Kampung Panularan, dulunya daerah itu merupakan tempat tinggal seorang yang bernama G.P.H. Panular.



Sumber : ASALE Cerita di Balik Nama Kampung dan Tempat terbitan PT. Aksara Solopos


Follow ig: rzkptrp